Subscribe:

Ads 468x60px

Jumat, 15 April 2011

SIKAP KOREA SELATAN DALAM KONFLIK ANTARA KOREA UTARA DAN AMERIKA SERIKAT Studi Kasus Krisis Nuklir di Semenanjung Korea

BAB I

PENDAHULUAN

A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Krisis nuklir di semenanjung Korea yang terjadi di akhir tahun 2002 ini cukup banyak menyita perhatian dunia internasional. Krisis ini semakin menjadi rumit ketika antar kedua belah pihak ( Amerika Serikat dan Korea Utara ) mulai menunjukkan arogansinya dan menciptakan perang pernyataan yang membuat situasi semakin memanas. Korea Utara mengambil langkah – langkah yang tergolong berani dan ”melawan arus”, seperti pada bulan oktober 2002 mengambil langkah pengusiran inspektur PBB dan menarik diri dari Nuclear non – Proliferation Treaty ( NPT ) [1], bahkan pada hari Kamis, tanggal 28 Agustus 2003 dalam forum dialog enam negara (Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Jepang, dan Rusia) wakil menteri luar negeri Korea Utara memberikan pernyataan yang nadanya cukup membuat suasana persidangan yang tadinya penuh dengan suasana keakraban berubah menjadi ketegangan, isinya menegaskan bahwa Korea Utara akan mengembangkan program senjata nuklir, kemungkinan lebih tinggi lagi yakni mengembangkan program peluru kendali berteknologi tinggi.[2]Dari konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Korea Utara di akhir tahun 2002, ada imbas dari krisis ini, yaitu adanya keterlibatan dari negara – negara lain selain dua negara yang terlibat diatas dalam beberapa pertemuan yang membicarakan tentang krisis ini, negara – negara itu adalah Korea Selatan, Cina, Jepang, Rusia. Dalam setiap pembicaraan yang sifatnya multilateral ataupun bilateral negara negara yang cukup memiliki bargaining power kuat di
Asia ini selalu hadir dan sangat intensif mengikuti perkembangan pembicaraan.

Peranan Korea Selatan atas keterlibatannya dalam setiap pembicaraan penyelesaian konflik ini menjadi sebuah fenomena yang cukup menarik untuk dianalisa. Korea selatan hingga saat ini memiliki konfrontasi yang belum ada penyelesaian yang secara nyata dari tahun 1953 (perang

Korea). Seiring dengan perkembangan jaman keinginan dari rakyat Korea untuk kembali bersatu muncul, dan itu direspon cukup baik hingga terbinalah hubungan dua Korea ini saat Korea Selatan dibawah pemerintahan Kim Dae-jung dan Korea Utara di bawah Kim Jong-il (hingga saat ini). Di sisi lain hubungan antara Korea Selatan dan Amerika Serikat hingga pada waktu itu masih tetap terpelihara dengan baik karena memang ada kepentingan yang saling membutuhkan. Tiga puluh tujuh ribu pasukan Amerika Serikat masih tetap ditempatkan di Korea Selatan membuat Korea Selatan ”merasa aman” dari invasi Korea Utara. Jumlah pasukan Amerika Serikat yang sedemikian besar disertai dengan keahlian bertempur dan peralatan perang yang cukup canggih untuk menangkal invasi dari luar, ditambah pula dengan latihan latihan perang terpadu AS – Korsel yang efisien untuk melatih kerjasama dalam menangkal invasi dari luar daerah. Kondisi tersebut merupakan faktor yang membuat Korea Selatan saat ini masih merasa aman dari ancaman agresi dari luar negara, terutama oleh Korea Utara. Demikian juga percepatan pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan setiap tahunnya karena sistem perekonomian yang terbuka ditambah lagi dukungan dari ”barat” yang cukup membantu untuk membuat Korea Selatan jauh lebih makmur dibandingkan dengan saudaranya Korea Utara. Sebuah hubungan dilematis yang cukup menarik untuk dianalisa oleh penulis adalah ketika terjadi konflik antara Amerika Serikat dan Korea Utara. Jelas sekali konflik ini terjadi antara dua negara yang sedang membina hubungan dengan Korea Selatan, yang pada nantinya akan terjadi tarik ulur kebijakan dari Korea Selatan terhadap konflik ini yang tentunya cukup menarik untuk dianalisa. Dari fakta dan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk menganalisa sikap Korea Selatan terhadap konflik Korea Utara – Amerika Serikat dalam kasus krisis nuklir 2002 ini.

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Tahun 2002 presiden Amerika Serikat George W. Bush membuat pernyataan yang provokatif bahwa Korea Utara adalah ”Axis Of Evil” sama seperti Irak dan Iran. Pernyataan ini muncul karena Amerika Serikat menganggap Korea Utara serupa dengan Irak dan

Iran dan merupakan negara yang potensial untuk berkembangnya terorisme. Sementara itu politik luar negeri di masa pemerintahan George W. Bush salah satunya adalah memerangi terorisme internasional. Pemerintah Amerika Serikat menganggap terorisme internasional merupakan ancaman utama, terlebih setelah terjadinya serangan 11 September 2001. Pemerintah Amerika Serikat telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi berkembangnya terorisme melalui berbagai jalur, termasuk diantaranya upaya diplomatik, militer, finansial, kerjasama dan operasi intelejen, dan law enforcement; yang dilaksanakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri . Tujuan dari semua upaya tersebut adalah untuk :[3]

1.

Pengasapan (Smoking out) teroris agar mereka keluar dari sarangnya sehingga mudah untuk ditangkap, termasuk lubang – lubang yang tak terduga (sleeper cell) yang berada di tengah masyarakat.
2.

Mencegah adanya Surga Perlindungan (safe heaven) bagi para teroris.
3.

Mendesak negara – negara yang oleh Departemen Luar Negeri (Department of State) dikategorikan sebagai Negara Pendukung Terorisme (states sponsoring terrorism) untuk menghentikan dukungan mereka terhadap terorisme.
4.

Mencegah terjadinya serangan kembali ke Amerika Serikat dengan cara memperkuat keamanan domestik Amerika Serikat.
5.

Meningkatkan kemampuan Teman dan Aliansi (friend and allies) dalam upaya memerangi terorisme.

Guna memerangi teroris, Amerika Serikat akan melakukan serangan terlebih dahulu dan tidak akan menunggu datangnya ancaman (defensive intervention). Untuk mencegah terulangnya kembali serangan ke Amerika Serikat, Presiden Bush dalam pidatonya di Akademi West Point tanggal 1 Juni 2002 telah menyatakan akan menerapkan doktrin pre-emption sebagai salah satu opsi, khususnya menghadapi negara – negara atau kelompok teroris yang menggunakan senjata pemusnah massal.[4]Bagi Korea Utara pernyataan presiden Bush tersebut dianggap sebagai sebuah ancaman bagi dirinya. Hal itu dapat terlihat dari pandangan dan langkah yang diambil oleh Korea Utara. Dalam pandangan RDRK (Republik Demokrasi Rakyat

Korea atau lazim disebut sebagai Korea Utara), kebijakan Amerika Serikat merupakan sebuah pernyataan perang terhadap Korea Utara yang tidak dapat dibiarkannya begitu saja. Pernyataan presiden Bush juga telah menunjukkan secara jelas kebijakan Amerika Serikat yang menghindari dilakukannya dialog dan penyelesaian masalah – masalah bilateral seperti penyelesaian masalah rudal pemusnah massal dan pengembangan nuklir yang telah diletakkan oleh pemerintah sebelumnya. Pada gilirannya, RDRK menyimpulkan bahwa Amerika Serikat juga berkeinginan menghancurkan RDRK, yang untuk itu RDRK menghadapinya dengan politik pertahanan dan keamanan dan kekuatan militer yang kuat.[5] Pernyataan Bush kemudian melahirkan ketegangan – ketegangan yang membuat kacaunya kesepakatan – kesepakatan yang telah dirumuskan dan disetujui terdahulu baik yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan Korea Utara maupun antara Korea Selatan dengan Korea Utara. Berbagai macam imbas terjadi dari ketegangan ini, Korea Utara dengan cepat menarik diri dan menyatakan mundur dari kesepakatan Nuclear non-proliferation treaty (NPT), Inspektur nuklir PBB diusir dari Korea Utara, dan kebijakan – kebijakan lain yang membuat krisis semakin besar dan memanas.Ketegangan semakin terlihat ketika pada Desember 2002, Korea Utara memutuskan untuk mengaktifkan kembali pusat nuklir Yongbyon, membongkar penyekat dan kamera – kamera pemantauan yang dipasang oleh Badan Tenaga Atom Internasional ( IAEA ) yang tadinya digunakan untuk memverifikasi bahwa reaktor di tempat itu tidak dijalankan sesuai dengan persetujuan yang ditandatangani tahun 1994.[6] Melihat itu Amerika Serikat pun memberikan sanksi kepada Korea Utara dengan menangguhkan pengiriman bahan bakar ke negara tersebut. Bahan bakar ini seharusnya disuplai oleh Amerika Serikat ke Korea Utara sebagai ganti pemenuhan energi di Korea Utara sesuai kesepakatan tahun 1994 (kemudian disebut sebagai Genewa Framework Agreement). Dengan adanya Genewa Framework Agreement Korea Utara bersedia menghentikan pengoperasian reaktor nuklir Yongbyon dan sebagai gantinya Amerika Serikat akan membentuk konsorsium bersama Jepang dan Korea Selatan untuk membangun dua reaktor air ringan. Selama waktu pembangunan, Amerika Serikat akan mensuplai bahan bakar berupa 500.000 ton bahan bakar minyak berat kepada Korea Utara.[7] Ketika ketegangan menjadi semakin besar, munculnya negara – negara di sekitar kawasan semenanjung korea seperti Korea Selatan, Jepang, Cina, dan Rusia untuk turut serta menyelesaikan krisis tidak dapat dielakkan. Korea Selatan, sebagai negara yang selama ini memiliki konfrontrasi cukup besar dengan Korea Utara dan sebuah negara yang cukup peduli dengan keamanan kawasannya, merasa harus turut serta dalam penyelesaian konfik ini. Peran Korea Selatan dalam penyelesaian krisis ini semakin kuat dan menjadi logis ketika kepentingan nasional Korea Selatan turut terpengaruh oleh konflik ini. Membina hubungan menuju arah reunifikasi adalah salah satu program Korea Selatan, dan ternyata hubungan kedua korea benar – benar mengalami kemacetan pasca perang pernyataan antara Amerika Serikat dan Korea Utara yang terjadi di Semenanjung Korea itu, padahal sejak awal pemerintahan Kim Dae-jung usaha reunifikasi Korea sudah dilancarkan secara intensif oleh pemerintahan Korea Selatan. Sudah banyak kesepakatan yang diambil kedua

Korea di masa sebelum terjadi konflik nuklir tahun 2002 ini. Usaha yang cukup terlihat nyata adalah terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi Inter-Korea tahun 2000. Pertemuan ini adalah sebuah pertemuan bersejarah di bulan Juni 2000 dimana untuk pertama kalinya sejak perang Korea (1950 – 1953) pemimpin kedua Korea (Kim Jong-il dan Kim Dae-jung) dapat bertemu untuk membicarakan perdamaian. Dalam pertemuan antara kedua pemimpin Korea dalam KTT Inter-Korea tanggal 13-15 Juni 2000 telah ditandatangani Deklarasi Bersama Korea Selatan-Korea Utara pada tanggal 15 Juni 2000 yang diharapkan dapat menjadi landasan utama bagi babak baru hubungan antar-Korea dengan melaksanakan kerjasama di berbagai bidang. Adapun isi dari Deklarasi Bersama (South-North Joint Declaration) adalah sebagai berikut :

- Reunifikasi independen

Korea ;- Pengakuan atas kesamaan formula reunifikasi kedua
korea ;- Pertukaran keluarga – keluarga terpisah dan resolusi atas tahanan Korea Utara ;- Meningkatnya keseimbangan pembangunan ekonomi nasional ;- Menyelenggarakan dialog tingkat pemerintah dan kunjungan Ketua Kim Jong-il ke
Seoul.[8]Pasca KTT Inter-Korea ini memang dirasakan ketegangan cukup mereda. Kekuatan sebuah kesepakatan setaraf KTT memang cukup berpengaruh dan dapat menunjukkan hasil yang cukup maksimal. Hal ini dapat dilihat dari bentrokan dan insiden laut Korut – Korsel di tahun 1998 dan 1999 yang pada awalnya ditandai dengan intensitasnya cukup tinggi, secara drastis di tahun 2000 dan 2001 bentrokan antara kedua angkatan laut Korea ini hampir tidak pernah terjadi. Akan tetapi saat memasuki tahun 2002 insiden kembali muncul mengiringi semakin memburuknya hubungan Korea Utara – Amerika Serikat yang mengawali krisis nuklir, pada tanggal 29 Juni 2002 terjadi lagi pertempuran antara angkatan laut Korea Utara dan Angkatan Laut Korea Selatan di laut Kuning. Bentrokan ini menyebabkan sekitar empat orang pelaut Korea Utara tewas dan 19 lainnya luka luka, bentrokan ini berbuntut pada penghentian bantuan pangan yang diberikan presiden Kim bagi Pyongyang.[9] Pasca ketegangan yang terjadi di semenanjung Korea di tahun 2002 tersebut, Korea Selatan tetap berusaha untuk menjaga hubungan yang telah dirintis sejak masa pemerintahan Kim Dae-jung. Pada tanggal 7 Januari 2003, juru bicara Komite Transisi Kepresidenan, Joung Soon-Kyun mengumumkan 10 program lima tahunan presiden baru terpilih Korea Selatan, dan upaya membangun mekanisme perdamaian di Semenanjung Korea adalah salah satu program yang menjadi prioritas utama.[10]. Upaya untuk menuju penyelesaian secara damai atas krisis yang terjadi ini juga ditempuh Roh dengan diplomasi marathon yang dilakukan ke sejumlah negara berpengaruh di kawasan semenanjung
Korea, seperti Jepang dan Cina. Pada KTT Tokyo tanggal 7 Juni 2003, Roh mengusulkan kepada mitranya PM Koizumi agar Jepang dan Korsel bisa menekan
Pyongyang melalui dialog dan tekanan politik dalam hal pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Lebih lanjut Roh memberikan pernyataan bahwa untuk mengatasi ketegangan akibat isu nuklir Korea Utara, memerlukan dialog dan tekanan,akan tetapi Roh lebih menekankan pada upaya dialog.[11]Upaya membangun hubungan juga dilakukan langsung dengan Korea Utara, itikad baik untuk membina hubungan dibuktikan dengan kesiapan Korea Selatan menyumbangkan 200.000 ribu ton pupuk yang diminta Korea Utara sewaktu menawarkan kesediaan negara komunis yang dilanda kelaparan ini untuk memulai dialog antar –
Korea.[12]Sementara itu di lain pihak hubungan antara Korea Selatan dan Amerika Serikat saat konflik nuklir dimulai juga mengalami peningkatan, dalam arti hubungan yang selama ini terpelihara menjadi semakin kuat ketika muncul konflik ini. Aktivitas yang sifatnya koordinasi dan kompromi antara dua negara ini seringkali diadakan dan sangat intensif. Pemikiran logis dari Korea Selatan muncul ketika krisis ini bukan sekedar konflik antara dua negara yang bertikai, akan tetapi juga sudah menjadi ancaman bagi negara – negara di sekitar daerah konflik. Peningkatan pengamanan di sekitar perbatasan dan latihan perang gabungan Amerika Serikat – Korea Selatan tetap diadakan walaupun mendapat tentangan dari rakyat Korsel sendiri. Bagi pemerintah Korea Selatan, latihan perang yang diselenggarakan tiap tahun sejak tahun 1976 hanya sebuah upaya untuk mempertahankan diri. Hal ini dapat dilihat pada sebuah pernyataan Kim Dae-jung saat akan dimulainya latihan perang gabungan AS – Korsel tahun 2001 yang menyatakan,” latihan perang selama 12 hari ini adalah untuk mempertahankan perdamaian, kami harus memelihara kondisi keamanan secara pasti, jika perang terjadi tidak ada perbedaan apakah anda di depan atau di belakang, jadi kita harus siap menjaga perang yang berulang”.[13] Di tahun 2002 latihan perang yang diagendakan tiap tahun ini digelar kembali, Komando pasukan Terpadu (CFC) Amerika Serikat dan Korea Selatan menamakan latihan itu RSOI / FE 02 Reception, Staging, Onward Movement and Integration karena melibatkan permainan perang komputer dan latihan lapangan tahunan Foal Eagle, dan pihak militer Amerika Serikat mengatakan latihan itu semata untuk membela diri.[14] Jadi bagi Korea Selatan, latihan perang yang dilakukan bukanlah upaya persiapan untuk melakukan invasi terhadap Korea Utara akan tetapi hanyalah sebuah langkah antisipasi apabila yang terjadi nanti adalah hal yang terburuk yang akan dialami. Bahkan Seoul berupaya untuk menghindari publikasi tentang latihan perang gabungan yang dilakukan di tahun 2001 guna mencegah ambruknya proses rekonsiliasi dengan Korea Utara. Oleh sebab itu Korsel menolak mengungkapkan pada pers jumlah tentara Korea Selatan yang dikerahkan untuk latihan tersebut.[15] Demikian juga intensitas pertemuan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan yang khusus membahas masalah krisis makin kerap dilakukan, baik pertemuan bilateral maupun multilateral yang juga melibatkan negara-negara kawasan seperti Jepang, Cina, Rusia. Imbas yang dirasakan sebenarnya begitu besar ketika kesepakatan yang telah dicetuskan bersama dengan mudah tak lagi diabaikan karena kepentingan sebuah negara pada akhirnya terancam dan tidak lagi ada jaminan keamanan secara global.

C. PERUMUSAN MASALAH

Dengan melihat latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan masalah, yaitu mengapa Korea Selatan bersikap mendua dalam konflik Korea Utara – Amerika Serikat, di satu pihak tetap membina hubungan baik dengan Korea Utara akan tetapi di lain pihak juga tetap membina hubungan baik dengan Amerika Serikat pasca krisis nuklir semenanjung Korea tahun 2002 ?

[1] Kompas, 24 desember 2003,” Membaca dengan Seksama Perkembangan di Semenanjung
Korea”,hal 3

[2] Suara Pembaruan, 29 agustus 2003,”Korut Siap Uji Coba Senjata Nuklir”, hal 6

[3]Kedutaan Besar R.I, Laporan
Operasional Tahunan, Washington D.C, 2002, hal 11

[4] Ibid, hal 12

[5]Kedutaan Besar RI, Laporan OperasionalTahunan,
Pyongyang, 2002 , hal 21

[6] Kompas, 24 desember 2003,Opcit,.hal 3

[7]Drs. Dian Wirengjurit,MA,” Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir, Pengertian,Sejarah dan Perkembangannya,” PT.Alumni, Bandung 2002, hal 359

[8]Kedutaan Besar RI, Laporan Operasional Tahunan,
Seoul tahun 2000 hal 25 – 26

[9] Republika, 12 juli 2002,”Kim Dae-jung Rombak Kabinet”, hal 7

[10] Suara Pembaruan, 26 Februari 2003,”Dambaan Presiden Korsel, Perdamaian dan Pusat Ekonomi”,hal 10

[11] Suara Pembaruan, 30 Juli 2003,” Diplomasi Roh dan Stabilisasi Semenanjung
Korea”, hal 10

[12] Kompas, 22 April 2003,” Korsel Menerima Tawaran Korut”, hal 4

[13] Suara pembaruan, 21 Agustus 2001,” Latihan Perang AS – Korsel”, hal 11

[14] Kompas, 22 Maret 2002,”Korea Selatan dan AS Gelar Latihan Gabungan Terbesar”, hal 3

[15] Kompas, 21 Agustus 2001,”AS dan Korsel Lakukan Latihan Perang”, hal 3


tulisan ini diambil dari http://jurnalskripsitesis.wordpress.com/category/skripsi-hubungan-internasional/

Tidak ada komentar: