Subscribe:

Ads 468x60px

Selasa, 19 April 2011

Kekerasan Sebagai Tragedi


Kekerasan Sebagai Tragedi[1]

Barangkali cinta ( adalah hal lain yang lebih berbahaya ) yang merupakan ibu dari tragedi. Aristoteles mengatakan bahwa kita bukan sepenuhnya hewan rasional, atau hewan pembuat alat seperti kata benjamin franklin, tetapi pertama dan terutama kita dalah hewan yang menceritakan kisah. Yang dimaksud dengan cinta disisni bukanlah arti cinta yang sebenarnya tapi adalah sebuah hasrat yang mempengaruhi setiap individu. Melakukan hal baik atau buruk tergantung dengan hasratnya.
Jika kita membatasi diri kita pada bentuk diskursus proses hukum pidana di ruang pengadilan, maka hanya ada dua pertanyaan tentang kekerasan yang di ajukan. Bagaimana membedakan mereka yang tidak bersalah dengan yang bersalah?. Masalah dalam diskursus ini adalah dalam batasan yang diberikan terhadap kapasitas kita, baik untuk memahami kekerasan maupun untuk mencegahnya.
Agensi manusia atau aksi manusia tidak saja bersifat individual, tetapi juga bersifat familial, sosietal, dan institusional. Masing-masing kita terikat dengan sesama kita, dalam hubungan kita. Semua aksi manusia bersifat relasional. Memahami hal ini merupakan hal yang penting untuk memahami asal usul tindakan kekerasan dan strategi yang mungkin berguna untuk mencegahnya. Hal ini sangat cocok dengan teori hubungan masyarakat yang menganggap konfilk disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Terdapat dua point penting sasaran yang disampaikan di dalam teori ini:
1.             Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
2.            Mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalam
Dalam artikel James Gilligan tersebut contoh konflik serta kekerasan terjadi dalam sekup kecil lingkungan keluarga, yang mana keluarga tersebut terdiri dari kelonpok suku yang berbeda sehingga meyebabkan ketidapercayaan antara mereka serta buruknya komunikasi antar satu keluarga dan yang lain. Kemudian kekerasan yang terjadi dalama artikel ini lebih bersifat mikrokosmik yang artinya konflik itu terjadi karena berhubungan dengan human interaction yang memiliki  hasrat untuk berkonflik.
 Kekerasan dalam studi tragedi merupakan apa yang telah dilakukan dan diwujudkan, direncanakan dan dipertimbangkan, apa yang telah mendatangkan kesedihan dan rasa haru, sejak masa dimana mereka pertama kali berkembang dari ritual keagamaan dua setengah milenium lalu.
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan bersumber dari individu yang mana kekerasan tersebut dapat menjadi kekerasan yang lebih besar karena secara alami manusia adalah mahluk sosial dan tidak dapat hidup sendiri dalam pencapaian kebutuhannya. Jadi konflik yang berasal dari individu dapat menjadi semakin besar diakibatkan sifat dasar alami manusia. Selain itu manusia merupakan mahluk penyebar berita yang menjadikan konflik semakin menyebar luas dan mempunyai akar yang berkepanjangan dan efek yang sangat luas. Pendapat ini diperkuat oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia tidak sepenuhnya hewan rasional atau hewan pembuat alat seperti kata Benjamin Frenklin, pertama dan terutama manusia adalah hewan yang menceritakan kisah. Ini adalah sifat dasar manusia.
Dari sini, dapat diambil kesimpulan dalam penanganan konflik tersebut baik secara peace making ataupun peace building. Secara peace making dapat diambil sebuah solusi pemecahan konflik ini dengan cara pemberian kecaman terhadap pelaku kekerasan baik berupa sangsi ataupun efek jera. Sedangkan penanganan dalam bentuk peace building yaitu dengan cara moralitas yaitu dengan cara memaafkan. Semua ini dapat diterapkan karena akar permasalahan terjadinya konflik berasal dari individu. Pendapat ini diperkuat oleh Elliot yang mengatakan bahwa hambatan pencegahan kekerasan bukan karena kurangnya pengetahuan namun lebih karena ideologi dan politis. Sebenarnya pencegahan yang paling efektif dengan kata maaf. Seperti pepatah Perancis yakni Total comprende c’est tout pardonner yang artinya memahami semua berarti memaafkan semua. Namun hal itu harus diiringi dengan kecaman agar memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan.


[1]Disusun oleh mahasiswa HI UMM Fuad Hasan Asy’ari (07260082),Dyan Artha Purvitasari        (07260092) Ratri Surachmaningtyas                (07260095)

Tidak ada komentar: