Kekerasan
Sebagai Tragedi[1]
Barangkali cinta ( adalah hal lain yang
lebih berbahaya ) yang merupakan ibu dari tragedi. Aristoteles mengatakan bahwa
kita bukan sepenuhnya hewan rasional, atau hewan pembuat alat seperti kata
benjamin franklin, tetapi pertama dan terutama kita dalah hewan yang
menceritakan kisah. Yang dimaksud dengan cinta disisni bukanlah arti cinta yang
sebenarnya tapi adalah sebuah hasrat yang mempengaruhi setiap individu.
Melakukan hal baik atau buruk tergantung dengan hasratnya.
Jika kita membatasi diri kita pada
bentuk diskursus proses hukum pidana di ruang pengadilan, maka hanya ada dua
pertanyaan tentang kekerasan yang di ajukan. Bagaimana membedakan mereka yang
tidak bersalah dengan yang bersalah?. Masalah dalam diskursus ini adalah dalam
batasan yang diberikan terhadap kapasitas kita, baik untuk memahami kekerasan
maupun untuk mencegahnya.
Agensi manusia atau aksi manusia tidak
saja bersifat individual, tetapi juga bersifat familial, sosietal, dan
institusional. Masing-masing kita terikat dengan sesama kita, dalam hubungan
kita. Semua aksi manusia bersifat relasional. Memahami hal ini merupakan hal
yang penting untuk memahami asal usul tindakan kekerasan dan strategi yang
mungkin berguna untuk mencegahnya. Hal ini sangat cocok dengan teori hubungan
masyarakat yang menganggap konfilk disebabkan oleh polarisasi yang terus
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam
suatu masyarakat. Terdapat dua point penting sasaran yang disampaikan di dalam
teori ini:
1.
Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara
kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
2.
Mengusahakan
toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di
dalam
Dalam artikel James Gilligan tersebut
contoh konflik serta kekerasan terjadi dalam sekup kecil lingkungan keluarga,
yang mana keluarga tersebut terdiri dari kelonpok suku yang berbeda sehingga
meyebabkan ketidapercayaan antara mereka serta buruknya komunikasi antar satu
keluarga dan yang lain. Kemudian kekerasan yang terjadi dalama artikel ini
lebih bersifat mikrokosmik yang artinya konflik itu terjadi karena berhubungan
dengan human interaction yang memiliki
hasrat untuk berkonflik.
Kekerasan
dalam studi tragedi merupakan apa yang telah dilakukan dan diwujudkan,
direncanakan dan dipertimbangkan, apa yang telah mendatangkan kesedihan dan
rasa haru, sejak masa dimana mereka pertama kali berkembang dari ritual
keagamaan dua setengah milenium lalu.
Dari keterangan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa kekerasan bersumber dari individu yang mana kekerasan tersebut
dapat menjadi kekerasan yang lebih besar karena secara alami manusia adalah
mahluk sosial dan tidak dapat hidup sendiri dalam pencapaian kebutuhannya. Jadi
konflik yang berasal dari individu dapat menjadi semakin besar diakibatkan
sifat dasar alami manusia. Selain itu manusia merupakan mahluk penyebar berita
yang menjadikan konflik semakin menyebar luas dan mempunyai akar yang
berkepanjangan dan efek yang sangat luas. Pendapat ini diperkuat oleh
Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia tidak sepenuhnya hewan rasional atau
hewan pembuat alat seperti kata Benjamin Frenklin, pertama dan terutama manusia
adalah hewan yang menceritakan kisah. Ini adalah sifat dasar manusia.
Dari sini, dapat diambil kesimpulan
dalam penanganan konflik tersebut baik secara peace making ataupun peace
building. Secara peace making dapat diambil sebuah solusi pemecahan konflik ini
dengan cara pemberian kecaman terhadap pelaku kekerasan baik berupa sangsi
ataupun efek jera. Sedangkan penanganan dalam bentuk peace building yaitu
dengan cara moralitas yaitu dengan cara memaafkan. Semua ini dapat diterapkan
karena akar permasalahan terjadinya konflik berasal dari individu. Pendapat ini
diperkuat oleh Elliot yang mengatakan bahwa hambatan pencegahan kekerasan bukan
karena kurangnya pengetahuan namun lebih karena ideologi dan politis.
Sebenarnya pencegahan yang paling efektif dengan kata maaf. Seperti pepatah
Perancis yakni Total comprende c’est tout
pardonner yang artinya memahami semua berarti memaafkan semua. Namun hal
itu harus diiringi dengan kecaman agar memberikan efek jera kepada pelaku
kekerasan.
[1]Disusun
oleh mahasiswa HI UMM Fuad Hasan Asy’ari (07260082),Dyan Artha
Purvitasari (07260092) Ratri
Surachmaningtyas (07260095)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar