Tema: Democracy and the
compatibility of indigenous political cultural in ASEAN
DEMOKRASI
di NEGARA-NEGARA ASEAN
(Study
kasus Indonesia dan Myanmar)
Fadhor
Rohman[1]
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa penerapan demokrasi
di negara-negara anggota ASEAN sangat variatif, mulai yang sangat demokratis
seperti Indonesia[2]
dan ada negara yang masih dikontrol oleh militer seperti kasus Myanmar. Pasca
runtuhnya rezim otoriter pada masa orde baru (ORBA) yang dipimpin oleh Soeharto
yang dimotori oleh mahasiswa membuat kran demokrasi terbuka lebar, kebebasan
pers sangat dijunjung tinggi, begitu juga kebebasan menyampaikan berpendapat,
kebebasan berserikat yang berkembang sangat pesat, kebebasan tersebut bisa kita
lihat dari banyak terbentuknya organisasi maupun lembaga swadaya masyarakat
(LSM) dan juga banyaknya partai yang mengikuti pemilihan suara serta dicopotnya
hak istimewa ABRI yang dikenal dwi fungsi ABRI, sangat berbeda dengan Myanmar.
Kasus Aung San Su Kyi di Myanmar menjadi bahan
perbincangan di dunia Internasional, aktifis yang pro terhadap demokrasi ini
dijadikan bulan-bulanan oleh pemerintahan penguasa yang notabene masih dikuasai
oleh junta militer, protes ada diamana-mana menuntut pemerintahan Myanmar
membebaskan Aung San baik dari PBB, sejumlah negara ASEAN maupun negara-negara
yang peduli terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Ditahannya Aung San
menurut penulis sendiri sangat sarat akan politis, disamping Aung San pernah
mendapatkan nobel perdamaian ia juga pernah memenangkan pemilu tahun 1990, akan
tetapi digagalkan oleh pihak militer, militer ketir ketika misalnya militer
melepaskan Aung San maka dihawatirkan akan mengancam kekuasaan militer yang
telah dimilkinya berpuluh-puluh tahun.
Konsep Demokrasi
Untuk
mengetahui apakah negrara-negara ASEAN menerapkan demokrasi atau tidak alangkah
baiknya kita mengetahui konsep demokrasi tersebur,Ciri-ciri negara demokratis,
menurut Huntington, salah satunya ialah kekuatan militer harus kembali ke
barak. Tugas militer ialah mengamankan negara dari kemungkinan 'serangan
musuh', baik dari dalam maupun luar. Tugas kekuasaan diberikan kepada
masyarakat sipil yang representatif dan memenuhi syarat sebagai pemimpin. Power
sharing dipetakan berdasarkan kapabilitas; keamanan diberikan kepada militer;
dan tugas kenegaraan diemban oleh sipil[3].
Ciri negara demokratis lainnya ialah kebebasan untuk menyuarakan pendapat, pers
dijamin dan diberi kebebasan oleh undang-undang, terjadinya pemilu secara jujur
dan adil, serta adanya otonomi masing-masing kelembagaan yudikatif, legislatif,
dan eksekutif. Masing-masing lembaga itu bekerja sesuai kinerja yang diatur
oleh undang-undang. Satu dengan lainnya independen tanpa ada campur tangan yang
akan melunturkan otonomi kelembagaannya[4].
Kalau
kita lihat dari cirri-ciri yang telah dilontarkan diatas, banyak Negara-negara
ASEAN tidak menerapkan demokrasi, militer yang seharusnya mempuyai fungsi untuk
mengamankan Negara dan seharusnya tidak berpolitik, tetapi di Negara Myanmar
peranan militer begitu kuat. Keterlibatan militer dimulai ketika
Jenderal Ne Win ditugaskan untuk mengendalikan ketertiban dan mempersiapkan
pemilu 1960. Pemerintahan militer, saat itu, berhasil memulihkan keadaan dalam
negeri sampai terselenggaranya pemilu tahun 1960 yang dimenangkan oleh U Nu dan
partainya, Union Party. Pihak militer kemudian mengultimatum pemerintah sipil
dengan memberikan waktu selama 2 tahun untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi Myanmar. Karena pemerintah sipil tidak dapat menata kembali kondisi
dalam negeri Myanmar, yang semakin diperparah dengan kegagalan U Nu dalam
menata system perekonomian dan administrasi Myanmar, maka timbul ketidakpuasan
di kalangan pro-militer dan militer. Akhirnya pada tanggal 2 Maret 1962,
militermelakukan kudeta di bawah pimpinan Jenderal Ne Win[5].
Sangat berbeda dengan Indonesia,
Indonesia meruapakan Negara yang paling demokratis di antara anggota ASEAN
lainnya, heterogenitas etnis bukanlah penghalang bagi Indonesia dalam
menerapkan demokrasi bagi Indonesia, bahkan saking bebasnya pers, presiden
Susilo Bambang Buditono (SBY) pernah di demo oleh masyarakat dan disimbolkan
dengan seekor kerbau yang dimaksudkan SBY lamban dalam bertindak, sedangkan
kalau kita melihat negarat anggota lainnya demmokrasi yang diterapkan berbeda.
Wajah lain Demokrasi ASEAN.
Ketika kita melihat fakta dilapangan di
negara-negara anggota ASEAN masih banyak menggunaan competitive authoritarian ,
cirri-ciri dari competitive authoritarianism adalah kompetisi yang tidak adil,lebih
jauh competitive authoritarian menurut levitsky[6] :
“Competitive
authoritarian regimes are civilian regimes in which formal
democratic
institutions are widely viewed as the primary means of gaining power, but in
which fraud,
civil liberties violations, and abuse of state and media resources so skew the
playing field
that the regime cannot be labeled democratic. Such regimes are
competitive, in that democratic institutions are not a façade:
opposition forces can use
legal channels
to seriously contest for (and occasionally win) power; but they are
authoritarian
in that opposition forces are
handicapped by a highly uneven—and even
dangerous—playing
field. Competition is thus real but unfair
“
Didalam
CA ini multipartai, free election, media press ini ada, akan tetapi pemerintah
penguasa melakukan kekangan kepada press bahkan pembunuhan seperti yang terjadi
di Kamboja atau Indonesia pada jaman Soeharto, dibidang pemilihan, multipartai
itu memang ada tapi pihak incumbent melakukan bebagai cara agar tetap
menang seperti diminimalkanya akses kampanye partai lain dan dimaksimalkan incumbent
semisal di Malaysia UMNO yang sulit terkalahkan dari lawannya. Yang menjadi
pertanyaan kemudian kenapa Negara-negara anggota ASEAN sangat sulit menerapkan
demokrasi seutuhnya. Pertanyaan in bisa kita jawab dari segi historis dan
budaya politik Negara-negara ASEAN.
Demokrasi
adalah produk barat yang di populerkan oleh Negara barat terutama Amerika
Serikat, demokrasi ini sangat berkembang pesat ketika runtuhnya Uni Soviet yang
sosialis dan unipolaritas tatanan dunia yang berpusat kepada AS, AS dengan
memaksa baik secara soft ataupun hard kepada Negara-negara di dunia termasuk
Negara anggota ASEAN. Budaya perpolitikan Negara ASEAN sangat jauh dari
demokrasi, kebanyakan dari masyarakat anggota ASEAN merupakan Negara kerajaan
yang masyarakatnya menjunjung tinggi raja-rajanya, tidak heran masih banyak
Negara yang masih mengunakan Monarchy seperti di Malaysia, Brunei
Darussalam dll. Jadi sangat sulit dan membutuhkan wakru yang lama bagi
masyarakat Negara anggota ASEAN dalam menerapkan demokrasi seutuhnya.
[1]
Mahasiswa Hubungan Internasional 08
Universitas Muhammadiyah Malang.
[2]
Indonesia dinobatkan sebagai Negara demokratis ke 3 di dunia.
[3]
Huntington dalam Ismatillah A Nu'ad “Asean Dan Krisis Politik Thailand” Harian Republika, Senin 13 April 2009.
[5] Adian firnas. “prospek
demokrasi di myanmar” jurnal universitas paramadina, vol. 2 no. 2,
januari 2003: 128-141
[6]Levitsky
competitive
authoritarianism: the emergence and dynamics of hybrid regimes in the postcold
war era,harvard university
Tidak ada komentar:
Posting Komentar