KEBIJAKAN JEPANG DALAM ARMS CONTROL DAN DISARMAMENT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki membuat Jepang berbeda. Militer Jepang dikenal sebagai salah satu militer paling militan, berani mati dan nekat dalam sejarah peperangan. Kekuasan Jepang terpusat di tangan seorang kaisar yang sudah dijadikan mitos sebagai keturunan dewa dewi, dan ingin mendominasi dunia secara militer. Jatuhnya bom atom itu mengawali sejarah baru Jepang. Dari sisi sistem politik, Jepang berubah sangat mendasar. Kekuasaan Kaisar dilucuti dan digantikan oleh demokrasi parlementer. Kedaulatan berpindah ke tangan rakyat yang sepenuhnya dikendalikan melalui partai politik. Kaisar hanya menjadi simbol pemersatu, namun tak lagi mendominasi politik praktis. Titah kaisar sudah digantikan oleh pasal-pasal hukum dalam konstitusi Jepang yang modern. Militer Jepang juga berubah secara total. Sebelum dan selama berlangsungnya Perang Dunia II, Jepang memiliki kekuatan militer yang cukup kuat dengan teknologi yang mampu menyaingi bangsa Barat, khususnya AS. Setelah bom atom meledak, AS melucuti militer Jepang. Jepang menjadi negara yang seolah-olah ”dipasung” oleh AS untuk menjadi negara yang tidak dimungkinkan lagi memiliki kekuatan militer. Tak ada lagi pasukan militer yang ekspansionis, dan membutuhkan dana yang sangat besar di Jepang. Konstitusi Jepang yang dibuat AS tampak secara sengaja mengatur Jepang untuk tidak memiliki kekuatan militer kembali.Konstitusi 1947 tersebut tertuang dalam pasal 9,isinya:”Aspiring sincerely to an internatonal peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognizes”.
Justru karena militernya dipangkas, Jepang memobilisasi semua sumber daya dan ekonominya untuk pembangunan. Akibatnya, Jepang justru melesat menjadi negara superpower baru secara ekonomi. Bersama dengan Jerman, Jepang berubah menjadi the trading state, negara pedagang. Sebelum bom jatuh di
Hiroshima dan
Nagasaki, Jepang, mendominasi negara lainnya secara militer.
Kini pelan-pelan Jepang kembali mendominasi dunia, tetapi dengan jalan perdagangan. Jepang melakukan kerjasama perdagangan dan ekonomi dengan negara-negara tetangganya yaitu
China, Korea Selatan dan Korea Utara. Tentu saja Jepang memiliki kekhawatiran terhadap ancaman bom atom atau senjata nuklir karena pengalaman pahitnya dan faktor dari militer negara tetangga. Diketahui bahwa
China memiliki pembangunan militer yang sangat baik, terutama pembangunan Angkatan Laut dan persenjataan Nuklir. Disamping itu Korea Utara juga mengembangkan senjata nuklir dan balistik antar benua. Adanya pengalaman buruk tentang nuklir, membuat Jepang mawas diri dan mendukung kebijakan arms control dan disarmament.B. Latar Belakang Masalah
Jepang adalah salah satu negara yang mampu bangkit dengan cepat setelah hancur akibat serangan bom atom di
Hiroshima dan
Nagasaki. Pengalaman pahitnya sebagai negara yang telah menjadi objek senjata nuklir, membuat Jepang menyadari bahwa senjata nuklir mempunyai dampak kerusakan yang sangat besar. Sebuah bom atom yang merupakan senjata berhulu ledak nuklir dapat menyebabkan kematian ribuan orang dalam seketika. Setelah pengalaman pahitnya itu Jepang kemudian menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain di dunia melalui hubungan diplomasi.[1] Padahal sebelum mendapatkan pengalaman buruk berkaitan dengan bom atom itu, Jepang adalah salah satu negara yang mempunyai kebijakan yang sangat keras. Tidak ada negara yang ditakuti Jepang, sehingga Jepang berani menyerang negara mana saja. Bahkan pihak AS menyebut Jepang sebagai ”penjahat perang”.
Zaman telah mengubah sistem pertahanan Jepang. Jepang berubah menjadi penganut perdamaian. Kekalahan Jepang di Perang Dunia II mengakibatkan Jepang tidak lagi memiliki kemampuan politik dan ambisi militer karena pihak AS sengaja melakukan ”pemasungan” dengan membuat Konstitusi Jepang tidak memungkinkan Jepang menjadi kekuatan militer kembali. Hal ini terjadi karena Jepang dianggap merupakan ancaman bagi bangsa dan negara-negara lain khususnya bangsa barat.Pengalaman yang dialami Jepang membuka mata dunia dan menyadari bahwa penggunaan senjata nuklir mempunyai dampak yang sangat merusak. Oleh karena itu kemudian dengan dikomandoi oleh Amerika dan Uni Sovyet yang sejak lama menjadi musuh besar, dilakukan perjanjian yang bertujuan mengurangi penggunaan senjata nuklir di seluruh dunia. Perjanjian itu dituangkan dalam Strategic Arms Reduction Treaty (START) yang merupakan proses pertama untuk mengurangi senjata nuklir strategis milik AS dan Uni Sovyet yang ditandatangani kedua belah pihak pada bulan juni 1991, sedangkan untuk senjata nuklir jarak menengah, AS dan Uni Sovyet menandatangani Intermediate Nuclear Forces (INF). Melalui perjanjian tersebut disepakati pengurangan senjata nuklir oleh seluruh negara-negara di dunia.Sangat jelas terlihat keinginan Jepang untuk mewujudkan perdamaian dari keterlibatan Jepang dalam berbagai perjanjian-perjanjian serupa, yang bertujuan untuk mengurangi senjata nuklir. Jepang tercatat sebagai anggota International Atomic Energy Agency (IAEA)dan berperan aktif di dalamnya. Dengan pandangan untuk mewujudkan sebuah dunia yang damai dan aman bebas dari senjata nuklir sesegera mungkin, Jepang meneruskan usahanya untuk mengarahkan kerja keras masyarakat internasional untuk mempercepat pelucutan senjata dan non proliferasi nuklir secara pragmatis dan progresif. Setiap tahun sejak tahun 1994, Jepang telah menyerahkan sebuah konsep resolusi mengenai pelucutan senjata nuklir kepada Dewan Umum PBB, dengan tujuan mengajak masyarakat internasional memulai perlucutan senjata dan melakukan upaya-upaya diplomatis untuk itu. Di tahun 2003 diadakan pertemuan negara-negara PBB yang diketuai oleh wakil tetap Jepang untuk konferensi perlucutan senjata. Pertemuan ini diadakan untuk mempertimbangkan implementasi program PBB yaitu tindakan untuk mencegah, memerangi, dan memberantas perdagangan gelap senjata kecil dan ringan. Dalam pertemuan kabinet Jepang pada tanggal 10 Desember 2004, Jepang diminta berpartisipasi pada misi penjagaan perdamaian internasional. Namun peran Jepang hanya sebatas melakukan tugas-tugas kemanusiaan, tidak terlibat pada zona perang di negara yang terlibat pertikaian bersenjata. Ditegaskan, Jepang akan turut memainkan peran menjaga keamanan global, sesuai dengan status Jepang sebagai salah satu kekuatan ekonomi global. Jepang tetap mempertahankan sikap tidak memiliki senjata nuklir, tidak akan memproduksi, dan tidak akan mengizinkan jenis senjata itu masuk wilayah Jepang. Hal ini dikerenakan Jepang pernah mengalami trauma akibat diserang menggunakan senjata nuklir pada tahun 1945. Kebijakan Jepang tersebut akan berdampak positif terhadap perdamaian di wilayah
Asia, khususnya negara-negara yang bertetangga dengan Jepang. Akan tetapi Jepang tetap mempunyai sistem pertahanan yang kuat yang akan melindungi masyarakat Jepang jika ada tindakan kekerasan bersenjata dari negara lain.
Jepang sebagai negara yang menginginkan perdamaian pada seluruh negara di dunia, sangat mendukung kebijakan arms control dan disarmament ini. Adapun pengertian dari arms control adalah pengaturan persenjataan, sedangkan pengertian dari disarmament adalah perlucutan senjata, khususnya senjata pemusnah massal seperti nuklir, senjata kimia, dan senjata biologi.[2]Penelitian ini ingin mengungkap bagaimana kiprah Jepang dalam melaksanakan kebijakan arms control dan disarmament tersebut serta bagaimana pengaruhnya terhadap negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia, mengingat Jepang mempunyai peran yang sangat penting di kawasan Asia.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dirumuskan masalah sebagai berikut:Bagaimana kebijakan Jepang dalam arms control dan disarmament global serta bagaimana dampaknya?
[1] Anonim, Diplomatic Bluebook 2004: Japenese Diplomacy and Global Affairs in 2003, Ministry of Foreign Affairs,Japan, 2004, hal. 5.[2]“Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerja Sama Internasional”, http://www.w3.org/, diakses pada tanggal 19 Mei 2007.¼/p>
tulisan ini di akses dari http://jurnalskripsitesis.wordpress.com/category/skripsi-hubungan-internasional/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar