Subscribe:

Ads 468x60px

Jumat, 15 April 2011

PROSES TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN IRAK PASCA INVASI

A. Alasan Pemilihan Judul

Irak merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, karena merupakan salah satu negara Timur Tengah yang sering menghadapi peperangan. Sejak dahulu, Irak selalu dikuasi oleh kekuasaan asing. Irak sebagai negara yang menjadi pusat peradaban dunia Islam pada dinasti Abbasiyah setidaknya pernah diinvasi oleh pasukan Persia, Yunani, Romawi dan Mongol. Pada awal perjalanan Irak pada abad ke-21 ini, Irak kembali diserbu oleh Amerika.

Invasi Amerika dan sekutunya pada tanggal 20 Maret 2003 ke Irak telah menurunkan Sadam Hussein dari pemerintahan. Hal ini menyebabkan Irak berada dalam keadaan no government (tidak ada pemerintahan). Keadaan tidak ada pemerintahan ini harus segera diakhiri dengan membentuk pemerintahan yang baru. Pemerintahan yang baru inilah yang akan menentukan masa depan Irak selanjutnya.

Robohnya pemerintahan Saddam Hussein yang sah di Irak, bukan berarti permasalahan di Irak selesai begitu saja tetapi justru memunculkan permasalahan baru di Irak. Dalam proses pembentukan pemerintahan yang baru di Irak tersebut, Amerika Serikat selaku pemimpin dalam invasi ke Iak menghadapi dua pilihan, mengenai siapa yang akan menggantikan Saddam Hussein sebagai pemimpin di Irak dan bagaimana proses terbentuknya pemerintahan di Irak pascainvasi sampai terpilihnya presiden dan Perdana Menteri (PM) yang akan melakukan proses state building di Irak. State building di Irak sepertinya akan mengalami banyak kendala jika ditinjau dari segi legitimasi pemerintahan yang berkuasa di antara suku-suku yang sering terlibat disintegrasi.

Hal tersebut menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai proses terbentuknya pemerintahan Irak yang mengalami kendala jika ditinjau dari lemahnya legitimasi pemerintahan yang terbentuk dan juga kurangnya integrasi politik di dalam tubuh Irak itu sendiri sehingga dapat menghambat proses state building di Irak.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih mendalam mengenai proses terbentuknya pemerintahan Irak pascainvasi sampai Presiden dan Perdana Menteri (PM) Irak terpilih, dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Penelitian secara deskriptif (descriptive research) merupakan suatu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada berdasarkan data-data yang kemudian akan dianalisis lebih lanjut dan selanjutnya diinterpretasikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memecahkan masalah mengenai proses terbentuknya pemerintahan di Irak pascainvasi sampai terpilihnya Presiden dan PM di Irak dan bagaimana pemerintahan tersebut melakukan state building jika Irak sendiri memiliki masalah rendahnya integrasi dan lemahnya legitimasi pemerintahan yang terbentuk, didasarkan oleh fakta-fakta yang terjadi.

C. Latar Belakang Masalah

Pembentukan pemerintahan di Irak akan mengalami hambatan-hambatan yang cukup berat. Prediksi ini muncul terkait sulitnya untuk menentukan format pemerintahan yang baru. Banyak pengamat yang berpendapat bahwa Irak pasca Saddam akan selalu dibayangi oleh Amerika sebagai negara yang telah menginvasi Irak. Hal ini terbukti dengan tindakan Amerika yang tidak menyerahkan keamanan Irak kepada PBB tetapi AS justru semakin memperbanyak personilnya di Irak hingga penyerahan kedaulatan kepada Irak pada 30 Juni 2003. Keadaan tersebut membuat keamanan di Irak semakin tidak menentu dari hari ke hari. Perlawanan demi perlawanan dilakukan oleh sebagai suatu penolakan terhadap keberadaan militer AS dan sekutunya di Irak.

Masalah lain yang diprediksikan akan menjadi penghambat dalam proses pembentukan pemerintahan baru di Irak pasca Saddam Hussein adalah komposisi serta penyebaran penduduk Irak. Irak merupakan negara yang heterogen dimana penduduk Irak telah mencapai 26 juta jiwa dengan mayoritas berbangsa Arab (75-85%), minoritas Kurdi (15-20%), Turki, Parsi, dan sebagian kecil Armenian (5%). Dari segi agama Islam terbagi lagi menjadi beberapa golongan, yaitu Islam Shiah (60-65%), Islam Sunni (32-37%), dan 3% agama minoritas lain seperti Nasrani. Sejak awal Partai Baath yang berkuasa di Irak mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan negaranya.

Salah satu penyebab kesulitan yang dialami rakyat Irak dalam melawan pendudukan Amerika di Irak karena sejak dulu mereka sulit diintegrasikan sehingga mereka tidak mudah bersatu meskipun telah muncul musuh bersama yang potensial mengancam semua golongan di Irak. Problem utama integrasi nasional Irak yaitu penduduknya yang sangat heterogen dan terkonsentrasi di wilayah tertentu serta adanya campur tangan asing yang seringkali menghasut dan membantu kelompok tertentu untuk memberontak pada pemerintah pusat.

Permasalahan diawali dari suku Kurdi yang tinggal di Irak Utara yang merupakan seperempat jumlah penduduk Irak yang berjumlah 24 juta jiwa. Kesulitan utama pemerintah Irak untuk mengintegrasikan suku Kurdi karena suku ini terkonsentrasi secara geografis dis ebelah utara dan tinggal bersama-sama suku Kurdi lain di Iran bagian barat, Suriah Utara, dan Turki bagian tenggara, secara bersama-sama mereka menamakan tempat mereka tinggal Kurdistan.

Tumbangnya rejim Saddam Hussein akibat invasi militer yang dilakukan oleh pasukan gabungan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak telah memberikan harapan baru bagi bangkitnya gerakan politik Syiah Irak yang telah sekian lama tertindas di bawah rejim Presiden Saddam Hussein. Ada harapan yang besar dari pemimpin kelompok Syiah bahwa mereka akan memperoleh peran yang lebih besar dan signifikan dalam tatanan politik dan pemerintahan yang baru pasca rejim Saddam Hussein. Harapan ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat realitas demografis keagamaan di Irak, kelompok Syiah Irak merupakan warga mayoritas.

Negara Barat sendiri baru mengetahui secara sungguh-sungguh keberadaan Islam setelah munculnya Revolusi Islam (yang dipelopori kelompok Syiah) di Iran pada tahun 1979. Akibatnya, dalam pandangan mereka, Islam adalah identik dengan kekerasan dan pemberontakan terhadap Barat (terutama AS yang mendukung pemerintahan Syah Reza Pahlevi) seperti yang dilakukan kelompok Islam Syiah di Iran. Maka, sepanjang dekade 1980-an, pengalaman utama bangsa-bangsa Barat mengenai Islam selalu terkait dengan fundamentalisme Islam radikal model Ayatullah Khomeini dan kekhawatiran akan ekspor revolusi Islam ke seluruh negeri di dunia yang dihuni oleh orang-orang Islam menjadi berita utama media di Barat. Padahal sebenarnya kelompok Islam Syiah adalah kelompok minoritas di dunia Islam, yang hanya mencakup sekitar 15% dari total pemeluk Islam di dunia. Sedangkan kelompok Islam Sunni adalah kelompok mayoritas di dunia Islam yang dalam beberapa ajarannya seringkali lebih moderat dan lebih toleran terhadap pengikut agama lain.

Islam Syiah selalu diidentikkan dengan militansi, gerakan anti-Amerika, dan terorisme yang diilhami oleh Revolusi Iran dan kelompok Hizbullah di Libanon. Akibatnya, pemahaman terhadap kekayaan tradisi agama dan spiritualitas Syiah menjadi kabur sehingga timbul kesalahpahaman terhadap sikap dan pengalaman kelompok Syiah yang beragam mengenai isu perang dan damai. Sebenarnya, ada banyak aktivitas lain yang dilakukan oleh kelompok Islam Syiah selain aktivitas keagamaan, misalnya dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial. Misalnya seperti apa yang dilakukan oleh seorang jutawan Syiah, Aga Khan, yang menggunakan kekayaan komunitasnya untuk membiayai proyek-proyek kesejahteraan sosial dan pendidikan di seluruh dunia.

Kelompok-kelompok Syiah yang terkenal antara lain Hezb al-Daawa al-Islamiyah (Islamic call Party/Partai Dakwah Islam), SCIRI (Supreme Council of the Islamic Revolution in Iraq/Dewan Tertinggi Revolusi Islam di Irak) dan JAC (Joint Action Movement/Organisasi Gugus Tugas Islam). Di Irak, Syiah merupakan kelompok yang besar (mayoritas), sehingga apabila pemerintahan baru Irak mengabaikan atau kurang mengakomodasi kepentingan kelompok Syiah berarti meletakkan bom waktu yang bisa meledak kapan saja dimasa yang akan datang.

Persoalan tersebutlah yang membuat Amerika menghadapi dilema sehingga tidak segera membuat kebijakan untuk menstabilkan Irak. Dilema pertama, yaitu apabila Amerika konsisten dengan prinsip demokrasinya, maka kekuasaan harus jatuh ke tangan kaum Syiah sebagai kelompok mayoritas di Irak. Hal ini tidak dikehendaki Amerika mengingat kaum Syiah termasuk kelompok yang anti-Amerika. Selain itu Syiah mempunyai riwayat dekat dengan Iran, negara yang pernah mempermalukan Amerika di tahun 1979 karena pengusiran 50 diplomatnya, dan kasus penjualan senjata ilegalnya, serta tidak mempunyai hubungan diplomatik sampai sekarang. Padahal jika diamati, Syiah Irak berbeda dengan Syiah di Iran dan pada umumnya tidak saling berpengaruh secara signifikan mengingat Syiah di Irak kental dengan nasionalisme Arabnya, sedangkan Syiah di Iran mayoritas beretnik Parsi. Kenyataannya Amerika sangat berhati-hati dalam memberi kesempatan partisipasi politik pada kelompok Syiah.

Dilema kedua, apabila kekuasaan diberikan kepada kelompok Sunni, maka sama saja dengan memberikan jalan pada pengikut setia Saddam Hussein untuk kembali berkuasa di Irak. Sedangkan dilema ketiga, yaitu apabila kekuasaan diberikan kepada kelompok suku Kurdi, Amerika akan mendapat protes dari sekutunya Turki yang mempunyai masalah otonomi dengan suku Kurdi. Turki khawatir kalau Kurdi Irak diberi kesempatan berkuasa, maka suku Kurdi Turki akan menuntut hal yang sama. Dengan kondisi seperti ini, musuh bersama yang tidak bisa menyatukan, penguasa yang tidak menghendaki terwujudnya integrasi, maka integrasi nasional Irak menunggu tokoh Irak yang dapat diterima oleh semua kelompok yang dapat menyatukan mereka yang hingga saat ini belum diketahui siapa.

Penduduk Irak sendiri jelas-jelas hanya akan mengakui dan melegitimasi seorang pemimpin yang berasal dari negerinya sendiri, terlepas itu dengan atau tanpa dukungan AS. Di lain pihak, AS sebagai negara yang telah berhasil melakukan pembebasan Irak dari rezim Saddam Hussein merasa sangat berhak untuk menentukan masa depan bangsa ini, termasuk para pemimpin yang akan menggantikan pemerintahan Saddam Hussein.

Sikap AS yang merasa berhak atas Irak ditentang sebagian penduduk Irak, sehingga mereka melakukan gerilya untuk mengusir AS dari tanah Irak. Kelompok gerilyawan ini tergabung dalam milisi Baghdad yang berpusat di Fallujah. Sering terjadi aksi bom bunuh diri, penembakan, dan aksi-aksi lainnya yang ditujukan kepada pihak tentara AS. Para pelaku pengeboman menyampaikan pesan “Pesan kepada kelompok internasional adalah jangan datang ke sini dan membangun kembali negara. Pesan kepada polisi Irak adalah jika kamu berpikir dapat bekerja dengan Amerika, kamu salah.” Oleh karena itu kemudian pihak AS menyatakan bahwa Fallujah saat ini menjadi kota berbahaya bagi militer AS.

Salah satu tokoh yang mengklaim bertanggungjawab atas banyaknya pengeboman yang dilakukan kepada tentara AS adalah Abu Musab al-Zarqawi dengan kelompoknya yang diberi nama Tauhid dan Jihad. Dalam rangka melakukan pengejaran terhadap Zarqawi, Kota Fallujah, yang menjadi basis pertahanan utama milisi, berada di bawah serangan udara dan darat oleh pasukan AS dalam upaya mengusir al-Zarqawi dan kelompoknya, Tauhid dan Jihad. Di samping itu, Fallujah menjadi tempat tinggal mayoritas kaum Syi’ah di Irak sehingga penghancuran atau pembersihan Fallujah juga berarti penghancuran kaum Syi’ah. Adanya gerilyawan yang menentang pendudukan Amerika jelas menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan pembentukan pemerintahan baru di Irak. Akan tetapi Amerika tetap tidak mengurungkan niatnya untuk tetap bercokol di Irak sampai terbentuknya pemerintahan baru Irak.

Proses pembentukan pemerintahan di Irak diawali dengan pemilihan Presiden sementara Ghazi al-Yawe dan Perdana Menteri Iyad Alawi setelah pengalihan kedaulatan pada tanggal 30 Juli 2003. Selanjutnya Perdana Menteri tersebut yang akan mempersiapkan pemilihan umum pada Januari 2005. Cara ini merupakan cara baru bagi rakyat Irak, karena selama ini rakyat Irak tidak mengenal demokrasi. Hal ini tentu saja akan mempertinggi tingkat kesulitan penerimaan rakyat Irak terhadap presiden yang terpilih. Perkembangan lain dari proses pembentukan pemerintahan Irak, Amerika telah menetapkan Dewan Pemerintahan Irak. Menghadapi situasi di Irak yang terdiri dari berbagai suku, Dewan Pemerintahan Irak sepakat untuk menggunakan sistem federal dalam mengelola Irak pasca Saddam. Kesepakatan itu terjadi dalam pembahasan Dewan Pemerintahan Irak pada tanggal 5 Januari 2004.

Sejalan dengan teori yang dipilih untuk membahas hambatan proses pembentukan pemerintahan Irak pascainvasi, yaitu teori legitimasi politik, integrasi dan teori pembangunan politik (state building), maka dapat diuraikan bahwa untuk keberhasilan pelaksanaan proses pembangunan politik (state building) di Irak, Presiden dan Perdana Menteri harus mempunyai legitimasi yang cukup kuat, karena Presiden dan Perdana Menteri akan memimpin penduduk Irak yang sangat heterogen. Berangkat dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa untuk melaksanakan state building sangat diperlukan keberhasilan melaksanakan integrasi bagi semua penduduk Irak untuk bersama-sama melaksanakan pembangunan politik di Irak.

Yang menjadi masalah adalah bahwa untuk melaksanakan integrasi tersebut sangat sulit. Hal ini disebabkan suku-suku dan kelompok-kelompok yang ada di Irak pasca Saddam semuanya ingin memegang tampuk kekuasaan dan di antara mereka saling bermusuhan. Kesulitan lain untuk mengintegrasikannya adalah suku-suku itu secara geografis terpisah-pisah, sehingga sulit untuk mengintegrasikannya. Mereka juga mempunyai calon presiden sendiri-sendiri yang sesuai dengan pilihan mereka. Mereka tidak akan begitu saja menerima seorang presiden yang bukan berasal dari suku atau kelompok mereka.

Perkembangan terakhir proses pembentukan pemerintahan Irak, Amerika telah menetapkan Dewan Pemerintahan Irak. Menghadapi situasi di Irak yang terdiri dari banyak suku/kaum, Dewan Pemerintahan Irak sepakat sepakat untuk menggunakan sistem federal dalam mengelola Irak pasca-Saddam Hussein. Kesepakatan itu terjadi dalam pembahasan Dewan Pemerintahan Irak, pada tanggal 5 Januari 2004. Melalui Dewan Pemerintahan Irak ini akan dibentuk pemerintahan sementara di Irak.

Dunia internasional ternyata mempunyai dua sikap yang berbeda tentang pemerintahan sementara yang akan dibentuk di Irak. Ada yang curiga dan ada yang optimis. Sikap curiga muncul karena pemerintahan sementara itu dianggap hanya merupakan dalih Amerika untuk tidak mau meninggalkan Irak. Di lain pihak sikap optimis muncul karena ada harapan pembentukan pemerintahan sementara itu akan dapat menyelesaikan sejarah suram Irak pasca Saddam Hussein dan serangan Amerika.

Menghadapi pandangan dunia yang penuh harap di satu sisi dan penuh kecurigaan serta keraguan di sisi lain, pemerintahan sementara Irak menghadapi tantangan sungguh berat.

Pertama, mereka harus membangun kredibilitas pemerintahan sementara di hadapan rakyat Irak yang majemuk agama dan etniknya. Salah satu alasan mengapa beberapa golongan tetap memberontak adalah karena mereka tak cukup dilibatkan dalam proses perencanaan peralihan. Pemerintahan sementara Irak harus tegas terhadap aksi teroris, tetapi harus merangkul kelompok rakyat Irak yang seluas-luasnya.

Presiden sementara Ghazi al-Yawe dan Perdana Menteri sementara Ayad Alawi harus mulai mengambil jarak dari pemerintahan pendudukan AS dan sekutunya untuk menunjukkan kepada dunia, Irak memang mulai berkuasa, tidak hanya secara formal, tapi juga secara substantif dan nyata. Mereka harus menjamin, Irak mulai berkuasa kembali dan aman. Jangan sampai sebagian rakyat Irak merasa, pendudukan hanya berganti baju saja. Pemerintahan Irak ke depan harus menjamin, yang berpindah bukan sekadar otoritas formal tetapi juga kedaulatan (power). Allawi, Muslim Syiah namun berlatar belakang karir sekular (neurolog), terpilih karena sudah sejak lama pro Amerika dengan menyatakan penentangannya terhadap pemerintahan Saddam Hussein. Alawi harus menunjukkan kepada rakyat Irak dan dunia internasional bahwa dia bukanlah boneka Amerika yang hanya akan menjalankan kepentingan Amerika saja.

Kedua, mereka harus menjamin terlaksananya jadwal (timeline) peralihan secara tepat. Tugas utama pemerintahan sementara Ayad Alawi adalah mempersiapkan pemilihan umum yang demokratis, memperbaiki situasi keamanan dan memulai pembangunan ekonomi negeri itu yang hampir lumpuh akibat perang.

Ketiga, harus dijadwalkan kapan tentara asing yang kini masih berjumlah 138.000 harus meninggalkan Irak untuk memastikan mereka tidak lagi bercokol di sana. Salah satu alasan pemberontakan di Irak selama masa pendudukan adalah kehadiran tentara itu di tanah air Irak. Dalam sejarah, anti-kolonialisme terjadi antara lain akibat kehadiran tentara asing. Program-program pembangunan Irak tidak akan berjalan tanpa jaminan keamanan, dan keamanan tak bisa terus menerus mengandalkan tentara asing.

Akhirnya, pengalihan otoritas yang bersifat formal itu harus dilihat sebagai langkah awal, yang harus diikuti langkah-langkah konkret selanjutnya yang lebih berat untuk mencapai Irak yang berdaulat secara penuh dan demokratis.

D. Rumusan Masalah

Keadaan di Irak pasca peralihan kekuasaan dari Amerika kepada pemerintahan sementara Irak pada tanggal 30 Juni 2004 mengalami banyak kendala dan tidak begitu banyak membuat perubahan yang cukup berarti bagi masyarakat Irak. Militer AS dan sekutunya masih saja tetap bercokol di bumi Irak yang membuat situasi keamanan di Irak semakin memanas saja. Pengeboman dan pembunuhan di Irak bukanlah suatu hal yang aneh bagi masyarakat Irak, semua itu dilakukan sebagai suatu protes atas pemerintahan Irak yang dianggap sebagai perpanjangan tangan AS. Selama militer AS dan sekutunya dengan alasan menjaga keamanan di Irak masih tetap bercokol maka keamanan di Irak tetap tidak akan mendapatkan perubahan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh belum adanya legitimasi pemerintahan baru Irak dan keberadaan polisi penjaga keamanan di Irak yang justru membuat suasana menjadi tegang. Jika keadaan tersebut terus terjadi maka pemerintahan yang baru tidak akan dapat melakukan nation building di Irak dilihat dari lemahnya legitimasi politiknya. Permasalahan tersebut yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai: “Mengapa proses pembentukan pemerintahan Irak hingga terpilihnya Presiden dan PM Irak yang baru mengalami hambatan?

Abu Achmadi dan Cholid Norbuko, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hal. 41-42

Mustafa Abd. Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2003, hal. 216.

Siti Muti’ah Setiawati, Irak di Bawah Kekuasaan Amerika : Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia, Pusat Pengkajian Masalah Timur Tengah Universitas Gadjah Mada dan Badan Pengkajian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal. 128.

Orang-orang Kurdi yang tinggal di empat negara yang disatukan oleh keinginan yang sama, yaitu negara Kurdistan yang merdeka terpisah dari negara tempat mereka tinggal. Akibatnya kesetiaan suku Kurdi lebih mewujudkan Kurdistan merdeka bersama dengan Kurdi yang lain dibandingkan dengan kesetiaan pada pemerintah Irak.

Ibid., hal. 134.

Munculnya aliran Islam Syiah berawal dari peristiwa kematian Nabi Muhammad pada tahun 632 M. Kejadian tersebut membuat umat Nabi Muhammad terperangkap dalam krisis menyangkut siapa yang akan menggantikan Muhammad (mengingat Nabi Muhammad adalah nabi terakhir). Dalam hal ini ada perbedaan pandangan di antara para sahabat Nabi dan para pengikutnya yang lain. Para sahabat nabi dengan cepat memilih Abu Bakar, mertua Muhammad, orang yang terdahulu masuk Islam dan anggota umat yang sangat dihormati sebagai pengganti khalifah Nabi yang pertama. Sementara itu, sekelompok pengikut nabi yang lain berkeyakinan bahwa sebelum wafatnya Muhammad telah menunjuk Ali bin Abi Thalib, pria tertua dalam keluarga Nabi, seorang keponakan dan menantu Nabi, sebagai penggantinya unutk menjadi pemimpin atau imam bagi umat Islam. Sebagian besar (mayoritas) anggota umat pada waktu itu mengakui pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah sehingga mereka kemudian dikenal sebagai golongan Sunni, yaitu pengikut sunah atau teladan Nabi. Sedangkan sebagian kecil (minoritas) dari mereka yang memilih Ali bin Abi Thalib disebut sebagai golongan Syiah atau Syi’i yang berarti “golongan” atau “pengikut” Ali. Inilah pada dasarnya yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan konflik yang berkepanjangan dalam Islam, yaitu adanya persoalan sekitar kepemimpinan dan kekuasaan, yang menjadikan dua golongan utama ini (Sunni dan Syiah) saling bersaing.

Siti Muti’ah Setiawati, op. cit., hal. 138.

Ibid., hal. 138-139.

http://www.w3.org. Irak Makin Tidak Nyaman Bagi Tentara Agresor AS, diakses pada tanggal 14 Desember 2004.

http://www.suaramerdeka.com. Tentara Islam Bertanggung Jawab Penggal Kepala Sandera Masedonia, diakses pada tanggal 14 Desember 2004.

Kompas, 30 Juni 2004.

Kompas, 8 Januari 2004.

Kompas, 8 Januari 2004

http://www.kompas.com. Menuju Irak Berdaulat dan Demokratis, diakses pada tanggal 14 Desember 2004.

Ibid.

Ibid.

Kompas, 30 Mei 2004.

Ibid.

Ibid.
tulisan ini diambil dari http://jurnalskripsitesis.wordpress.com/category/skripsi-hubungan-internasional/

Tidak ada komentar: