Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 25 Januari 2012

Tanah Indonesia Yang Terjual


Pengalaman Lintas 3 Negara (Malaysia, Singapore, Thailand)

“Tanah Indonesia Yang Terjual”
Part ll (Singapore)
Dipagi buta kami check out dari hotel berkelas melati di daerah Johor Bahru daerah perbatasan antara Malaysia-Singapore. Dengan hanya perjalannan kurang lebih 1 jam kami sudah sampai di imigrasi Singapore, sedikit berbeda dengan kantor imigrasi laiinya seperti di Malaysia, Indonesia maupun Thailand. Di imigrasri Singapore tak sedikit rombongan dari kami di tahan sejenak terkait nama maupun wajah-wajah yang dikira mencurigakan mereka seperti nama teman saya “Faturrachman Al-Putra” misalnya, dia di interview terkait dengan nama Al-Putra, sedangkan yang lain adalah Kasogi, dengan gaya  jama’ah tabligh dengan celananya cingkrak diatas mata kaki, dia sempat diwawancara ketika dikeimigrasian Singapore , tapi cukup mengherankan saya terkait dua teman kami yang jilbaber  (memakai jilbab lumayan panjang) bisa masuk dengan mulus.
Akhirnya kami bisa bernafas lega, teman-teman yang sempat di tahan sebagai “orang yang mencurigakan” sudah berkumpul di bus. Memasuki Negara kecil yang di kelilingi oleh Negara-negara besar seperti Indonesia dan Malaysia saya berdecak kagum, saya sibuk memotret gedung-gedung yang menjulang tinggi nan bersih dan keteraturan dibidang lalu lintas. Inilah Negara maju, maju dimulai dari mental masyarakat, dimana pemerintah sudah tidak disibukkan lagi dengan ketidak teraturan dan ketidak disiplinan rakyatnya, sunggup pencapaian yang mengagumkan.
Polisi Singapore seperti Malaikat Dunia saja.
Tour guide yang berkewarganegaraan Malaysia melayangkan pertanyaan kepada kami yang tak sempat kami pikirkan lantaran takjub pada peradaban yang dibangun Singapore, ditengah ketar ketir terkait Negara disekelilingnya yang mempunyai identitas berbeda agama, bahasa, etnis dan gaya hidup, pertanyaannya adalah “kenapa kita tidak melihat polisi berseragam sepanjang jalan?” saya pribadi dan kebanyakan orang beranggapan, ya karena kesadaran masyarakat Singapore yang tinggi sehingga tidak ada polisi di jalan raya, jawaban yang tidak salah juga sih, tapi kurang tepat. Ternyata pemerintah Singapore menerapkan demikian karena para polisinya menyamar, mereka menyamar menjadi rakyat sipil yang berpenampilan biasa dan yang tak kalah pentingnya setiap sudut jalan sudah terpasang CCTV untuk merekam segala pelanggaran terkait lalu lintas maupun semua pelanggaran. luar biasa, tak terbayangkan jika hal seperti ini diterapkan di Indonesia, ya, bayangkan sendiri jadinya apa.
Tanah Indonesia yang Terjual
Itu tanah & pasirnya di beli dari Indonesia lho” ungkap seorang guide dari sebuah travel dari Malaysia. Saya menyaksikan sendiri hamparan pasir dan tanah baru di Negara yang mempunyai icon kepala singa. Sebelumnya saya hanya mendengar dari cerita-serita orang yang tidak jelas kebenarannya, sempat saya search diberbagai sumber internet konon tanah-tanah itu dibeli dari kepulauan Karimun, Tanjung Pinang, Pulau Bintan dll. Walhasil teritori batas laut Singapore semakin lebar, menurut suatu sumber di internet Negara Singapore pada tahun 1970 luasnya hanya 490 kilometer persegi, kini menjadi 699 kilometer persegi. Disadari ataupun tidak, maraknya penjualan tanah dan pasir sangat merugikan bangsa kita, semakin terkikisnya pulau yang diambil pasir dan rusaknya ekosistem dari tanah yang dikeruk untuk dijual ke Singapore sangat merendahkan martabat bangsa sendiri.
Sangat ironi, ketika kasus sengketa antara Malaysia dalam memperebutkan pulau sipadan dan ligitan, masyarakat Indonesia marah besar-besaran, padahal kalau kita telusuri sejarah, pulau sipadan dan ligitan adalah teritorialnya Inggris yang kemudian Malaysia sebagai pewaris dari kekuasaan Ingris meneruskan pulau yang terkenal kaya akan minyak bumi. Tidak mengherankan ketika sengketa itu dibawa ke mahkamah Internasional, Malaysia berhasil memenangkan kasus tersebut. Akan tetapi dibalik itu semua Masyarakat Indonesia terang-terangan (disebut terang-terangan karena khalayak umum sudah banyak yang tahu) menjual pasir & tanah milik Indonesia ke Singapore. mereka seakan-akan tidak sadar akan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatan mereka.
Lanjut kecerita, destinasi pertama kami disingapore adalah ISEAS (Institute of South East Asia Studies) yang masih berada dikomplek NUS (National University of Singapore) Universitas terunggul di Asia Tenggara. Sesampainya di ISEAS kami disambut dengan hangat oleh Head, public affairs Co-ordinator Environtment & Climate change program Tan Keng Jin dan 3 rekan kerjanya.
Tibalah sesi presentasi oleh seorang wanita ditemani oleh Mr. Tan, dia banyak menjelaskan tentang ISEAS, ISEAS yang merupakan lembaga think thank berfokus pada isu-isu dan yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Penjelasan yang memukau oleh seorang wanita yang cantik nan pintar “Clara” namanya kalau tidak salah. Presentasi kedua oleh seorang peneliti membahas tentang Islamisasi yang terjadi di Malaysia. Salah satu sampel yang diangkat adalah dipenjaranya seorang wanita di Malaysia yang ketahuan meminum-minuman alcohol di public sphere, dia seakan-akan menkonstruk kita betapa susahnya hidup di Negara yang serba tidak bebas, dikekang tanpa kebebasan yang absolute. dia melanjutkan semua aspek di Islamisasikan seperti gaya hidup, identitas social kurang lebih “ Malaysia adalah Melayu, orang melayu adalah Islam, yang bukan Islam bukan orang Malaysia”. Sempat presentasi tersebut membuat kesadaran tersendiri bagi para peserta, bahkan dosen kami yang mendampingi perjalanan bilang seperti ini “ iya ya, tidak bisa membayangkan susahnya hidup di Malaysia”, namun bagi penulis pribadi itu hal yang biasa, hanya pertanyaan di otak penulis yang timbul, siapa Singapore, Siapa Indonesia dan Malaysia. Keanapa penelitian itu yang dipresentasikan? Pertanyaan yang mendasar sebenarnya harus ditanyakan kepada Masyarakat Malaysianya sendiri, toh mereka enjoy dengan kehidupan seperti itu, bahkan bagi TKI Malaysia merupakan destinasi utama mencari nafkah.
Patung Singa berekor ikan duyung yang disebut Marlion Park merupakan destinasi kedua kami di Singapore, sesi foto merupakan hal yang tak terlewatkan disana, rasanya belum kesingapore kalau belum mengunjunig Marlion Park. Sebenarnya tidak begitu special ditempat yang dipenuhi orang bepose kecuali pemandangan yang bagus disekelilinginya dan gedung-gedung bersih nan indah seperti tempat Cassino terbesar di Asia Tenggara, sentosa Island dll.
 China Town, pusat perbelanjaan berdekor China adalah destinasi ketiga kami, seperti layaknya pasar, di China Town sangatlah sesak pengunjung baik local maupun manca, produk disana didominasi oleh produk China entah impor dari China atau produksi Singapor saya juga tidak tahu pasti, tapi yang jelas barang-barang disana relative murah dibandingkan di tempat lain diSingapore. Masih belum puas berbelanja di China Town, rombongan disuruh bersegera naik ke bus karena pihak panitia sudah di hubungi oleh KBRI di Singapore, informasi yang mendadak karena tidak dimasukkan oleh panitia kedalam agenda kunjungan kami. Ketika kami mengajukan proposal tak ada jawaban yang pasti dari pihak KBRI di Singapore. Sesampai di KBRI tak banyak orang terlihat, ternyata sudah jam pulang kantor, sebenarnya kita sudah paham akan hal itu, akan tetapi demi citra kampus walaupun telat kami masih menyempatkan diri untuk berkunjung kesana dan berpose dengan seorang staff KBRI.
At last but not least dari rangkaian tujuan kami diSingapore adalah Sentosa Island. Sebuah pulau yang di design menjadi tempat wisata. Tempat wisata terbesar di Asia Tenggara. Disana lengkap, mulai dari tempat judi, bula dunia yang bertuliskan “universe”, universal studio, dan banyak laiinya, tapi sayang kami hanya punya waktu sedikit, cukup hanya berpose ditempat yang indah bersama native Singapore,

Tidak ada komentar: