Pengalaman Lintas 3 Negara
(Malaysia, Singapore, Thailand)
“Tanah
Indonesia Yang Terjual”
Part ll (Singapore)
Dipagi buta kami check
out dari hotel berkelas melati di daerah Johor Bahru daerah perbatasan
antara Malaysia-Singapore. Dengan hanya perjalannan kurang lebih 1 jam kami
sudah sampai di imigrasi Singapore, sedikit berbeda dengan kantor imigrasi
laiinya seperti di Malaysia, Indonesia maupun Thailand. Di imigrasri Singapore
tak sedikit rombongan dari kami di tahan sejenak terkait nama maupun
wajah-wajah yang dikira mencurigakan mereka seperti nama teman saya
“Faturrachman Al-Putra” misalnya, dia di interview terkait dengan nama Al-Putra,
sedangkan yang lain adalah Kasogi, dengan gaya jama’ah tabligh dengan celananya cingkrak
diatas mata kaki, dia sempat diwawancara ketika dikeimigrasian Singapore , tapi
cukup mengherankan saya terkait dua teman kami yang jilbaber (memakai jilbab lumayan panjang) bisa masuk
dengan mulus.
Akhirnya kami bisa bernafas lega, teman-teman yang sempat
di tahan sebagai “orang yang mencurigakan” sudah berkumpul di bus. Memasuki
Negara kecil yang di kelilingi oleh Negara-negara besar seperti Indonesia dan
Malaysia saya berdecak kagum, saya sibuk memotret gedung-gedung yang menjulang
tinggi nan bersih dan keteraturan dibidang lalu lintas. Inilah Negara maju,
maju dimulai dari mental masyarakat, dimana pemerintah sudah tidak disibukkan
lagi dengan ketidak teraturan dan ketidak disiplinan rakyatnya, sunggup
pencapaian yang mengagumkan.
Polisi Singapore seperti Malaikat
Dunia saja.
Tour guide yang berkewarganegaraan Malaysia melayangkan pertanyaan
kepada kami yang tak sempat kami pikirkan lantaran takjub pada peradaban yang
dibangun Singapore, ditengah ketar ketir terkait Negara disekelilingnya yang
mempunyai identitas berbeda agama, bahasa, etnis dan gaya hidup, pertanyaannya
adalah “kenapa kita tidak melihat polisi berseragam sepanjang jalan?” saya pribadi
dan kebanyakan orang beranggapan, ya karena kesadaran masyarakat Singapore yang
tinggi sehingga tidak ada polisi di jalan raya, jawaban yang tidak salah juga
sih, tapi kurang tepat. Ternyata pemerintah Singapore menerapkan demikian
karena para polisinya menyamar, mereka menyamar menjadi rakyat sipil yang
berpenampilan biasa dan yang tak kalah pentingnya setiap sudut jalan sudah
terpasang CCTV untuk merekam segala pelanggaran terkait lalu lintas maupun
semua pelanggaran. luar biasa, tak terbayangkan jika hal seperti ini diterapkan
di Indonesia, ya, bayangkan sendiri jadinya apa.
“Itu tanah &
pasirnya di beli dari Indonesia lho” ungkap seorang guide dari sebuah travel dari Malaysia. Saya menyaksikan sendiri
hamparan pasir dan tanah baru di Negara yang mempunyai icon kepala singa. Sebelumnya saya hanya mendengar dari cerita-serita
orang yang tidak jelas kebenarannya, sempat saya search diberbagai sumber internet konon tanah-tanah itu dibeli dari
kepulauan Karimun, Tanjung Pinang, Pulau Bintan dll. Walhasil teritori batas
laut Singapore semakin lebar, menurut suatu sumber di internet Negara Singapore
pada tahun 1970 luasnya hanya 490 kilometer persegi, kini menjadi 699 kilometer
persegi. Disadari ataupun tidak, maraknya penjualan tanah dan pasir sangat
merugikan bangsa kita, semakin terkikisnya pulau yang diambil pasir dan
rusaknya ekosistem dari tanah yang dikeruk untuk dijual ke Singapore sangat
merendahkan martabat bangsa sendiri.
Sangat ironi, ketika kasus sengketa antara Malaysia dalam
memperebutkan pulau sipadan dan ligitan, masyarakat Indonesia marah
besar-besaran, padahal kalau kita telusuri sejarah, pulau sipadan dan ligitan adalah
teritorialnya Inggris yang kemudian Malaysia sebagai pewaris dari kekuasaan
Ingris meneruskan pulau yang terkenal kaya akan minyak bumi. Tidak mengherankan
ketika sengketa itu dibawa ke mahkamah Internasional, Malaysia berhasil
memenangkan kasus tersebut. Akan tetapi dibalik itu semua Masyarakat Indonesia
terang-terangan (disebut terang-terangan karena khalayak umum sudah banyak yang
tahu) menjual pasir & tanah milik Indonesia ke Singapore. mereka seakan-akan
tidak sadar akan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatan mereka.
Lanjut kecerita, destinasi pertama kami disingapore adalah
ISEAS (Institute of South East Asia Studies) yang masih berada dikomplek NUS
(National University of Singapore) Universitas terunggul di Asia Tenggara. Sesampainya
di ISEAS kami disambut dengan hangat oleh Head,
public affairs Co-ordinator Environtment & Climate change program Tan
Keng Jin dan 3 rekan kerjanya.
Tibalah sesi presentasi oleh seorang wanita ditemani oleh
Mr. Tan, dia banyak menjelaskan tentang ISEAS, ISEAS yang merupakan lembaga think thank berfokus pada isu-isu dan
yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Penjelasan yang memukau oleh seorang
wanita yang cantik nan pintar “Clara” namanya kalau tidak salah. Presentasi kedua
oleh seorang peneliti membahas tentang Islamisasi yang terjadi di Malaysia.
Salah satu sampel yang diangkat adalah dipenjaranya seorang wanita di Malaysia
yang ketahuan meminum-minuman alcohol di public
sphere, dia seakan-akan menkonstruk kita betapa susahnya hidup di Negara
yang serba tidak bebas, dikekang tanpa kebebasan yang absolute. dia melanjutkan
semua aspek di Islamisasikan seperti gaya hidup, identitas social kurang lebih
“ Malaysia adalah Melayu, orang melayu adalah Islam, yang bukan Islam bukan
orang Malaysia”. Sempat presentasi tersebut membuat kesadaran tersendiri bagi
para peserta, bahkan dosen kami yang mendampingi perjalanan bilang seperti ini
“ iya ya, tidak bisa membayangkan susahnya hidup di Malaysia”, namun bagi
penulis pribadi itu hal yang biasa, hanya pertanyaan di otak penulis yang
timbul, siapa Singapore, Siapa Indonesia dan Malaysia. Keanapa penelitian itu
yang dipresentasikan? Pertanyaan yang mendasar sebenarnya harus ditanyakan
kepada Masyarakat Malaysianya sendiri, toh mereka enjoy dengan kehidupan
seperti itu, bahkan bagi TKI Malaysia merupakan destinasi utama mencari nafkah.
Patung Singa berekor ikan duyung yang disebut Marlion Park
merupakan destinasi kedua kami di Singapore, sesi foto merupakan hal yang tak
terlewatkan disana, rasanya belum kesingapore kalau belum mengunjunig Marlion
Park. Sebenarnya tidak begitu special ditempat yang dipenuhi orang bepose
kecuali pemandangan yang bagus disekelilinginya dan gedung-gedung bersih nan
indah seperti tempat Cassino terbesar di Asia Tenggara, sentosa Island dll.
China Town, pusat
perbelanjaan berdekor China adalah destinasi ketiga kami, seperti layaknya
pasar, di China Town sangatlah sesak pengunjung baik local maupun manca, produk
disana didominasi oleh produk China entah impor dari China atau produksi
Singapor saya juga tidak tahu pasti, tapi yang jelas barang-barang disana
relative murah dibandingkan di tempat lain diSingapore. Masih belum puas
berbelanja di China Town, rombongan disuruh bersegera naik ke bus karena pihak
panitia sudah di hubungi oleh KBRI di Singapore, informasi yang mendadak karena
tidak dimasukkan oleh panitia kedalam agenda kunjungan kami. Ketika kami
mengajukan proposal tak ada jawaban yang pasti dari pihak KBRI di Singapore. Sesampai
di KBRI tak banyak orang terlihat, ternyata sudah jam pulang kantor, sebenarnya
kita sudah paham akan hal itu, akan tetapi demi citra kampus walaupun telat
kami masih menyempatkan diri untuk berkunjung kesana dan berpose dengan seorang
staff KBRI.
At last but not least dari rangkaian tujuan kami diSingapore adalah Sentosa
Island. Sebuah pulau yang di design menjadi tempat wisata. Tempat wisata
terbesar di Asia Tenggara. Disana lengkap, mulai dari tempat judi, bula dunia
yang bertuliskan “universe”, universal studio, dan banyak laiinya, tapi sayang
kami hanya punya waktu sedikit, cukup hanya berpose ditempat yang indah bersama
native Singapore,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar